akbara.ac.id, Surakarta – Pandemi Covid-19 memang terjadi diluar rencana kita. Bahkan jika boleh dikatakan seluruh masyarakat dunia juga tidak menyangka akan terjadinya wabah mematikan ini. Desember 2019, adalah pertama kalinya kasus Covid-19 ini dilaporkan oleh pemerintah China pada organisasi kesehatan dunia (red: WHO). Sejak saat itu, sudah lebih dari 7 juta penduduk dunia terinfeksi dengan total lebih dari 400 ribu kasus meninggal yang disebabkan oleh virus ini (8/06/20). Seperti kita ketahui bersama, pandemi ini tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan saja, namun juga berdampak luas hampir pada setiap aspek kehidupan manusia. Diakui atau tidak, kejadian pandemi ini telah banyak merubah sikap dan perilaku kita sebagai manusia. Beberapa istilah yang muncul pasca kasus pandemi ini, seperti lockdown, PSBB, work from home, teleconference, social distancing, hingga physical distancing menyiratkan suatu perubahan yang besar dari peradaban kita saat ini. Perubahan peradaban yang diiringi perubahan perilaku ini tentu saja turut berdampak pada layanan dunia pendidikan.
Baca Juga : Di Rumah Aja, Tetapi Tetap Produktif dalam Belajar, Simak Tips Berikut ini
Aktivitas pendidikan yang sebelumnya terbiasa dengan pembelajaran tatap muka langsung, harus beradaptasi dengan model pembelajaran digital. Digitalisasi proses pembelajaran sendiri sebenarnya bukan hal baru di dunia pendidikan. Sebelumnya, dunia pendidikan Indonesia sudah lebih dulu mengenal konsep e-learning dan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Beberapa peraturan dan kebijakan pendidikan nasional telah mengatur hal tersebut seperti pada:
- UU RI No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pada bagian ketujuh pasal 31 telah menjelaskan secara umum mengenai Pendidikan Jarak Jauh (PJJ);
- Permendikbud No 109 tahun 2012 dan Permendikbud No 109 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Pada Pendidikan Tinggi;
- Permendikbud No 119 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Melalui beberapa peraturan perundangan tersebut kita tahu bahwa pemerintah Indonesia sebenarnya memang telah menyiapkan konsep pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan teknologi guna memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan jarak dan kesulitan tatap muka langsung dengan fasilitas pendidikan. Namun yang perlu dipahami adalah, bahwasanya konsep Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) dapat dilaksanakan dengan kondisi dan kepada kelompok tertentu. Sedangkan yang terjadi hari ini, semua insan akademika dipaksa harus melakukan pembelajaran melalui fasilitas daring secara serentak. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana pembelajaran daring dapat dilaksanakan pada masa pandemi ini. Tulisan ini difokuskan untuk menilai secara umum perbandingan antara model pembelajaran daring (online) dengan model pembelajaran luring (luar jaringan) atau konvensional (tatap muka) dilihat dari 2 aspek utama, yakni aspek ketercapaian tujuan pembelajaran, dan aspek penyelenggaraan pembelajaran.
Pertama, dilihat dari aspek ketercapaian tujuan pembelajaran. Belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti: 1) berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu; 2) berlatih; 3) berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Dari ketiga arti tersebut belajar dapat dimaknai sebagai proses meningkatkan “pengetahuan, keterampilan, dan sikap” tentu saja melalui pengalaman belajar itu sendiri. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap adalah ketiga poin yang tidak terpisahkan sebagai tujuan dari proses pembelajaran. Proses pembelajaran mengintervensi ketiga aspek kemampuan peserta ajar, yakni kognisi (pengetahuan), psikomotor (keterampilan), dan afeksi (sikap). Pada pembelajaran daring, peserta ajar mendapatkan pengalaman belajar menggunakan media elektronik dimana materi belajar ditransfer dalam bentuk digital untuk dapat “dikonsumsi” dengan perangkat elektronik. Fakta bahwa ilmu ditransferkan melalui perangkat elektronik memang dapat dipelajari secara mandiri oleh peserta ajar guna menambah pengetahuan maupun wawasannya, namun bagaimana dengan target keterampilan dan sikap? Untuk seorang peserta ajar dapat benar-benar menemukan pengalaman baru (berwujud pengetahuan, keterampilan, sikap) dari hasil belajarnya perlu adanya fungsi manajemen pada sebuah proses pembelajaran. Hal ini termasuk proses guiding, evaluating, dan improving proses pembelajaran sebagai bentuk intervensi pendidik untuk memastikan peserta ajar mengikuti alur proses dari sebuah pembelajaran. Ketika pendidik tidak hadir secara langsung, muncul risiko ketidaksempurnaan proses pada pengalaman pembelajaran. Sebagai contoh, pada materi-materi praktik peserta ajar perlu benar-benar mempraktikkan sesuatu dengan benar sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Namun ketidakhadiran pendidik secara langsung berisiko peserta ajar akan mempraktikan suatu materi tersebut secara asal-asalan tanpa ada yang memandu. Atau lebih parahnya justru tidak benar-benar melakukan materi praktik dan hanya membuat laporan rekayasa bahwa ia telah mempraktikan suatu materi tersebut. Sedangkan, pada proses pembelajaran konvensional peserta ajar selalu didampingi oleh pendidik dalam proses belajarnya. Sehingga pendidik dapat langsung mengintervensi proses belajar dan meningkatkan keterampilan peserta ajar. Poin ketiga adalah sikap. Keberadaan pendidik secara langsung memaksa peserta ajar untuk dapat mengendalikan sikapnya. Seperti misalnya di kelas atau di laboratorium. Peserta ajar akan lebih menjaga sikapnya sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dengan lebih kondusif. Kondisi semacam inilah yang lambat laun akan membentuk perilaku peserta ajar untuk dapat memahami kapan waktunya harus bersikap serius penuh konsentrasi dan kapan waktunya bisa bebas bercanda. Kapan waktunya harus teguh dan disiplin melakukan sesuatu, kapan waktunya dapat santai dan rileks.
Kedua, mengenai aspek penyelenggaraan pendidikan. Setidaknya ada 2 poin pada aspek ini, yakni pembiayaan dan sarana prasarana pendidikan. Pembelajaran daring disiapkan memang bertujuan untuk efisiensi pembiayaan karena dapat memangkas ruang dan waktu. Biaya perjalanan yang harus dikeluarkan baik oleh peserta ajar maupun pendidik, terpangkas dengan teknologi internet ini. Selain itu biaya operasional kelas serta gedung yang biasanya harus dikeluarkan saat pembelajaran konvensional pun turut terpangkas. Namun apabila dicermati lebih lanjut, biaya ini sebenarnya tidak serta merta hilang begitu saja. Biaya operasional ini sebenarnya hanya berubah fungsi. Bukan lagi untuk transportasi dan operasional gedung, namun lebih kepada pembiayaan kuota internet hingga biaya penggunaan perangkat elektronik. Biaya ini turut muncul akibat tuntutan kebutuhan aplikasi penyedia jasa e-learning yang sering kali mengharuskan perangkat memiliki kemampuan yang lebih dari sekedar aplikasi pesan pada umumnya. Poin kedua adalah sarana dan prasarana belajar. Dijelaskan sebelumnya, bahwa memang banyak didapati kesenjangan kemampuan penyelenggaraan pembelajaran daring di berbagai tempat. Antara individu, lembaga dan daerah, masing-masing memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mengadakan infrastruktur sarana dan sarana pembelajaran daring mulai dari koneksi internet hingga sarana perangkat elektronik yang dibutuhkan. Pada peraturan perundangan pun dijelaskan bahwa penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh di semua jenjang dapat dilaksanakan dengan kondisi-kondisi tertentu. Baik dari sisi peserta ajar, pendidik, pengelola instansi pendidikan, hingga infrastruktur yang diselenggarakan pihak swasta seperti provider harus memiliki kesiapan untuk mendukung proses pembelajaran daring ini. Namun pada kondisi mendesak seperti ini para pihak yang terkait memang tampak belum benar-benar siap dalam menyelenggarakan pembelajaran daring. Sebuah inovasi belakangan muncul dari inisiasi pemerintah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mencanangkan program “Belajar dari Rumah” yang disiarkan di stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) mulai tanggal 13 April 2020 (Kemendikbud, 2020). Langkah ini dinilai strategis untuk menjawab kebutuhan efisiensi pembiayaan yang dikeluarkan semua pihak dalam menyelamatkan aktivitas belajar mengajar dalam sistem pendidikan nasional pada masa tanggap darurat Covid-19 ini.
Kesenjangan ini secara umum menantang bagaimana dunia pendidikan kita tetap survive di masa pandemi ini. Murid-murid kita, mahasiswa kita tetap harus belajar bagaimanapun caranya. Karena jika tidak, akan berdampak langsung pada capaian sistem pendidikan nasional kita. Pada jangka waktu menengah dan panjang akan berpengaruh pada kemampuan generasi bangsa dalam menghadapi tantangan jaman. Risiko seperti penurunan kualitas daya saing bangsa, penurunan produktivitas negara, hingga keterbelakangan peradaban bangsa harus disikapi. Untuk itu pemerintah bersama dengan semua lapisan masyarakat berupaya keras untuk tetap menyelenggarakan aktivitas belajar mengajar meskipun harus ditempuh dengan model pembelajaran daring yang “sedikit memaksa” demi selamatnya generasi bangsa. Namun melihat sisi positifnya, kita seolah disadarkan oleh kenyataan. Bahwa konsep revolusi industri 4.0, Internet of Thing, Big Data, yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah dunia sebagai bentuk persaingan global di masa depan, ternyata memang masih belum benar-benar siap dihadapi oleh bangsa ini. Bukan berarti tidak mampu, namun kita harus jujur. Bahwa kita masih memiliki segudang pekerjaan rumah dalam menyiapkan infrastruktur maupun kultur masyarakat untuk beralih ke aktivitas peradaban digital. Pandemi Covid-19 ini benar-benar datang disaat yang tidak terduga. Mungkin juga, pandemi inilah bentuk bendera start sebagai perlambang dimulainya persaingan baru dalam bentuk beradapan digital. Siap tidak siap, kita harus berubah, berjuang, dan menghadapinya sebagai sebuah bangsa. Sekian dan terima kasih. (Panji)